Apakah Hubungan Berat Badan dengan Infertilitas?
Berat badan selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan meskipun pada mulanya pembicaraan berfokus pada sisi estetika tubuh sehingga hal ini menghasilkan perbedaan standar tergantung dari bagaimana suatu budaya melihat estetika tubuh.
Perkembangan pengetahuan menyebabkan pergeseran arah diskusi mengenai berat badan pada sisi kesehatan individu, dimana masyarakat mulai menyadari hubungan antara berat badan dengan kondisi kesehatan tubuh.1
Oleh karena itu, dikembangkan suatu metode untuk mengetahui kondisi kesehatan melalui berat badan, salah satunya adalah penggunaan indeks massa tubuh (IMT) untuk mengetahui status gizi seseorang. Penggunaan IMT cukup mudah diaplikasikan sehari-hari karena hanya membutuhkan data mengenai berat badan dan tinggi badan. Alat ukur yang dibutuhkan juga mudah didapatkan di pasaran. Hasil perhitungan IMT dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu berat badan kurang (underweight), berat badan normal (ideal), berat badan berlebih (overweight), dan obesitas. Berbagai komponen dalam tubuh seperti massa otot, lemak, air, dan tulang tentu memiliki peran dalam penambahan atau pengurangan berat badan, namun pengukuran berat badan yang lebih akurat akan memerlukan alat yang lebih rumit dan canggih untuk dapat mengetahui lebih detail mengenai kadar lemak, otot, air, dan tulang dalam tubuh.1–3
Pada individu dengan IMT overweight maupun obesitas memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami berbagai gangguan metabolisme seperti gangguan metabolisme gula darah yang dapat menyebabkan terjadinya diabetes mellitus dan resistensi insulin, gangguan metabolisme purin sehingga kadar asam urat meningkat, dan gangguan metabolisme lemak sehingga dapat terjadi hiperkolesterolemia.4,5 Pada individu overweight maupun obesitas umumnya sudah terjadi penimbunan jaringan adiposa secara luas, dimana jaringan lemak ini juga dapat menghasilkan sinyal-sinyal inflamasi dan berperan sebagai tempat mengaktifkan estrogen sehingga terjadi inflamasi secara luas walaupun dengan intensitas ringan serta dihasilkan hormon estrogen lebih banyak yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan hormonal.6–8
Ovarium memiliki berbagai tahap yang perlu dilalui untuk menghasilkan sel telur matang yang siap dikeluarkan untuk dibuahi. Pada seluruh tahapan ini diperlukan produksi hormon yang seimbang sesuai dengan masing-masing tahapan. Gangguan pada salah satu tahapan akan menyebabkan gangguan pertumbuhan maupun pematangan atau gangguan pengeluaran sel telur (ovulasi) sehingga tidak terdapat sel telur yang matang atau sel telur yang matang tidak dapat dikeluarkan. Pada individu dengan overweight atau obesitas terjadi distribusi jaringan lemak yang tidak normal secara signifikan yang akan dihasilkan estrogen dari jaringan lemak lebih banyak serta ovarium juga akan memproduksi androgen lebih banyak.
Selain itu juga terjadi resistensi insulin meskipun mekanisme lengkapnya belum jelas. Kombinasi kondisi ini akan menyebabkan gangguan ovulasi sehingga sel telur yang matang tidak dapat dikeluarkan untuk dibuahi oleh sperma. Hal ini yang menyebabkan munculnya keluhan haid yang tidak teratur hingga kesulitan untuk hamil. 9,10 Berbagai penelitian juga menyebutkan tingkat keberhasilan terapi infertilitas pada pasien yang tidak mengalami penurunan berat badan selama sesi pengobatan didapatkan lebih rendah.11,12
Selain itu berbagai penelitian juga menyebutkan pada pasien overweigth atau obesitas yang telah berhasil hamil, komplikasi yang terjadi selama kehamilan lebih tinggi. Komplikasi yang sering didapatkan antara lain risiko keguguran yang 3x lebih besar pada 3 bulan pertama kehamilan, risiko kelainan bawaan pada janin meskipun ibu sudah mendapatkan suplementasi asam folat secara rutin, dan peningkatan risiko hipertensi dan diabetes dalam kehamilan.
Peningkatan risiko hipertensi dan diabetes dalam kehamilan ini juga menjadi faktor risiko berbagai komplikasi lebih lanjut seperti preeklampsia, berat badan bayi yang rendah, kelahiran sebelum waktunya, dan berbagai penyulit lain selama persalinan. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa komplikasi yang terjadi karena obesitas yang dialami ibu tidak hanya terjadi selama masa kehamilan hingga melahirkan, namun ibu dengan overweigth maupun obesitas menurunkan risiko berbagai penyakit metabolisme dan kardiovaskuler seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung, dan stroke saat anaknya dewasa.13–15
Meskipun banyak bukti ilmiah mengatakan bahwa kelebihan berat badan memiliki dampak yang buruk pada tubuh, kekurangan berat badan atau underweight juga tidak kalah berbahaya bagi tubuh dan tentu saja berpengaruh pada kesuburan. Pada kondisi underweight distribusi lemak sangat sedikit di dalam tubuh, padahal kadar distribusi lemak yang tepat tetap diperlukan dalam produksi berbagai hormon reproduksi dengan baik.
Apabila hormon reproduksi diproduksi terlalu sedikit, tentu saja akan mengganggu perkembangan dan pematangan sel telur serta menghambat terjadinya kehamilan. Pada kondisi underweight juga terjadi penurunan cadangan energi tubuh, sehingga energi yang masuk akan difokuskan untuk menjaga metabolisme tubuh. Selain itu pada kondisi underweight juga tercipta lingkungan tubuh dengan tingkat stress yang tinggi sehingga hormone stress, yaitu kortisol dihasilkan lebih banyak. Tingginya kadar kortisol akan mempengaruhi siklus ovarium, sehingga sering kali pasien underweight juga mengeluhkan haid yang tidak teratur. Berbagai penelitian mengatakan bahwa wanita dengan underweight memiliki risiko 2x lebih besar untuk mengalami masalah infertilitas, selain itu selama kehamilannya wanita dengan underweight juga beresiko terhadap gangguan pertubuhan dan perkembangan janin, berat badan bayi yang rendah, serta kelahiran prematur. 16–1
Dari pemaparan di atas jelas bahwa untuk mendukung terjadinya kehamilan diperlukan kondisi yang sesuai, meliputi kadar hormonal yang baik, kondisi ovarium yang baik, serta sistem tubuh yang baik. Kondisi kelebihan maupun kekurangan berat badan keduanya memiliki efek yang buruk bagi tubuh, terutama ketika sedang mengharapkan kehamilan belum lagi berbagai komplikasi yang mungkin terjadi selama kehamilan dan melahirkan.
Untuk itu, menjaga kondisi tubuh yang baik dan bugar sangat penting dilakukan. Hal utama yang perlu dilakukan adalah olahraga dan menjaga asupan nutrisi bergizi. Olahraga dianjurkan untuk dilakukan dengan frekuensi 3-5x per minggu dengan durasi 30 menit sampai dengan 60 menit. Jenis olahraga sebaiknya mengkombinasikan antara Latihan kardio dan angkat beban agar lebih efektif dalam membakar lemak serta menambah massa otot.19–24
Setelah olahraga rutin dilakukan, asupan nutrisi juga sama pentingnya untuk diperhatikan mengingat hasil olahraga tidak akan optimal apabila asupan nutrisi tidak baik. Baik pasien overweight maupun underweight perlu memperhatikan konsumsi protein baik protein hewani maupun nabati sebanyak 1-1,5gram/KgBB/hari karena protein penting bagi perbaikan sel-sel tubuh dan pertumbuhan otot.
Penentuan jenis sumber protein pada setiap individu dapat berbeda-beda tergantung dari kondisi tubuhnya. Selain itu normalnya konsumsi karbohidrat sekitar 45-65% dari total kalori harian dan lemak sekitar 20-35% kalori harian. Namun kedua hal ini sangat tergantung dari jenis diet yang sesuai bagi tiap individu, apakah perlu mengurangi atau menambah berat badan.25–28
Apabila olahraga teratur dan asupan nutrisi sudah diperhatikan, perbaikan klinis dimulai dari perbaikan siklus menstruasi akan tercapai. Namun, apabila masih belum tercapai, sangat mungkin terjadi masalah lain yang menyebabkan siklus haid menjadi tidak teratur sehingga pasien dapat mulai berkonsultasi ke fasilitas kesehatan untuk mengetahui masalah yang dialami secara lebih menyeluruh.